Sebuah mimpi

 


Karya : Sy Za


Di sebuah desa kecil tepatnya didekat pesisir pantai ujung bawah pulau Jawa, terdapat sebuah perpustakaan tua yang menjadi saksi bisu perjalanan budaya masyarakat disana. Perpustakaan itu didirikan oleh seorang dokter bernama Ibu Mahkota, yang kerap disapa dengan panggilan Bu Ota, dengar dari cerita masyarakat sekitar, perpustakaan itu adalah cita-cita beliau sedari lama, yaitu membangun perpustakaan di tanah kelahirannya, Bu Ota percaya bahwa literasi adalah kunci untuk membuka wawasan dan melestarikan budaya.

Setiap sore, anak-anak desa berkumpul di sana, mendengarkan cerita-cerita dari berbagai penjuru dunia. Salah satu anak yang paling rajin datang adalah Permai, seorang gadis berusia sebelas tahun dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Ia selalu duduk di deretan bangku kayu yang sudah usang, mendengarkan setiap kata yang diucapkan Bu Ota dengan penuh perhatian. Permai sangat menyukai cerita rakyat dari berbagai daerah di Indonesia. Ia terpesona oleh kisah-kisah tentang dewa-dewi, pahlawan, dan kebudayaan yang kaya. Suatu hari, Bu Ota mengumumkan bahwa mereka akan mengadakan lomba bercerita. Setiap anak diminta untuk memilih satu cerita rakyat dan menyampaikannya dengan cara yang menarik. Permai sangat bersemangat, dan ia pun memilih cerita tentang "Malin Kundang," kisah seorang anak durhaka yang dikutuk menjadi batu.

Permai mulai berlatih di rumah. Ia menceritakan kisah Malin kepada ibunya, yang selalu mendengarkan dengan penuh perhatian. Namun, Permai merasa ada yang kurang. Ia ingin menambahkan elemen budaya dari desanya ke dalam ceritanya. Dengan bantuan ibunya, Permai mulai mengolah cerita itu, menambahkan unsur-unsur budaya lokal, seperti adat dan tradisi yang berlaku di desa mereka. Hari lomba tiba. Anak-anak berkumpul di perpustakaan, suasana penuh semangat. Permai merasa sangat gugup, karena ini kali pertama ia berbicara didepan banyak orang, tetapi ia teringat betapa pentingnya budaya bagi identitas mereka.

Ketika gilirannya tiba, Permai berdiri di depan teman-temannya dan mulai bercerita. Ia tidak hanya menceritakan kisah Malin, tetapi juga mengaitkan nilai-nilai budaya, seperti rasa hormat kepada orang tua dan pentingnya menjaga tradisi. Ketika Permai selesai, suasana hening sejenak, lalu diikuti tepuk tangan meriah. Bu Ota tersenyum bangga. Ia tahu bahwa Permai telah memahami esensi dari literasi budaya. Tidak hanya membaca dan bercerita, tetapi juga menghayati dan melestarikan budaya mereka melalui cerita.

Setelah perlombaan, Bu Ota mengajak anak-anak untuk berdiskusi tentang cerita yang mereka pilih. Diskusi itu membuka wawasan baru bagi mereka. Anak-anak mulai membahas pentingnya melestarikan budaya lokal dan bagaimana cerita-cerita itu bisa menjadi jembatan antara generasi. Mereka berbagi pengalaman dan pandangan, saling menginspirasi satu sama lain. Permai merasa bangga bisa berkontribusi dalam melestarikan budaya mereka. Ia menyadari bahwa setiap cerita yang diceritakan adalah sebuah jendela ke masa lalu, yang menghubungkan mereka dengan nenek moyang dan memperkaya identitas mereka.

Sejak saat itu, Permai bertekad untuk terus belajar dan berbagi cerita, bukan hanya di perpustakaan, tetapi di seluruh desa. Kegiatan bercerita pun menjadi rutin. Setiap minggu, mereka mengadakan sesi cerita di lapangan desa. Warga desa mulai ikut serta, menceritakan sejarah dan tradisi yang mungkin terlupakan. Permai, yang kini menjadi pencerita handal di kalangan teman-temannya, merasa bahagia melihat semangat literasi budaya semakin tumbuh di desanya.

Suatu hari, seorang pengunjung dari kota datang ke desa. Ia adalah seorang penulis yang sedang mencari inspirasi untuk bukunya. Ketika melihat kerumunan anak-anak dan warga yang berkumpul untuk mendengarkan cerita, ia merasa terkesan. Ia mendekati Bu Ota dan bertanya tentang kegiatan tersebut. Bu Ota dengan bangga menceritakan tentang bagaimana literasi budaya telah mengubah desa mereka. Ia menjelaskan bahwa cerita-cerita yang dituturkan bukan hanya hiburan, tetapi juga sarana untuk menjaga identitas dan memperkuat ikatan sosial.

Penulis itu terinspirasi dan memutuskan untuk menulis tentang desa tersebut dan kegiatan literasi budayanya. Beberapa bulan kemudian, sebuah buku terbit, mengisahkan perjalanan desa kecil itu dalam melestarikan budaya melalui literasi. Buku itu menjadi terkenal, dan desa Permai mulai dikenal di luar daerah. Banyak pengunjung yang datang untuk melihat langsung kegiatan bercerita yang telah menghidupkan kembali tradisi mereka. Permai merasa bangga. Ia tidak pernah menyangka bahwa kegiatannya di perpustakaan bisa membawa dampak yang begitu besar. Ia bertekad untuk terus belajar dan berbagi, menyadari bahwa setiap kata yang diucapkannya adalah bagian dari warisan budaya yang harus dijaga.

Melalui cerita ini, Permai menemukan jati dirinya. Ia tidak hanya menjadi pencerita, tetapi juga pelestari budaya. Ia tahu bahwa literasi budaya adalah kekuatan yang dapat mengubah masyarakat, menyatukan generasi, dan menjaga warisan nenek moyang. Dengan semangat itu, Permai terus menelusuri jejak-jejak kata, mengukir cerita baru yang akan dikenang oleh generasi mendatang.